Mengenal Imam Asy-Syatibi
MENGENAL IMAM ASY-SYATIBI
![]() |
Imam Asy-Syatibi; Pelopor Maqasid Syari'ah |
Mengenal Imam Asy-Syatibi - Musthafa Saidal-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat sebuahterobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh.
Bila
sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha atau
Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian:
Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan
Syathibiyyah.
Pembagian ini,
hemat penulis, merupakan pembagian terbaru di mana thariqah yang ditempuh Imam
Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagian corak aliran yang
terpisah dari aliran ushul lainnya.
Tidak berlebihan
memang, karena dalam coraknya al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori
(nadhariyyat) Ushul Fiqh dengan konsep Maqashid al-Syari’ah sehingga produk
hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual.
Ada dua nilai
penting, hemat penulis, apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama
sekarang dalam menggali hukum. Pertama, dapat menjembatani antara “aliran
kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap
teguh berpegang pada konsep-konsep Ilmu Ushul Fiqh sedangkan “aliran kiri”
adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya tajdid Ushul al-Fiqh dalam
pengertian perlu adanya dekonstruksi Ushul Fiqh demi menghasilkan produk fiqh
yang lebih kapabel.
Di antara yang
paling vokal menyuarakan konsep ini adalah Hasan al-Turaby dengan bukunya
Tajdid Ushul al-Fiqh—buku ini dinyatakan terlarang dipasarkan.
Meski sesungguhnya
penulis kurang sependapat dengan tayyar al-yasar ini, namun ada hal yang perlu
dicatat bahwa apa yang mereka lontarkan adalah karena ketidakpuasannya dengan
produk-produk fiqh para ulama yang terlalu terpaku pada teks tanpa mengindahkan
konteks.
Dengan demikian,
produk hukum yang dihasilkan pun menjadi mati, ambigu, bahkan terkadang,
menurut mereka, kurang manusiawi. Keambiguan ini disebabkan methodologi yang
ditempuh terlalu ushuli kurang memperhatikan Maqashid al-Syari’ah.
Betul, bahwa
ulama-ulama Ushul dahulu telah membahas Maqashid al-Syari’ah ini menjadi salah
satu bagian dari ilmu Ushul. Hanya saja, perlu dicatat, pembahasan
al-mutaqaddimin dengan Maqashid al-Syari’ah ini boleh dikatakan hanya sebagai
“lipstik” saja karena pembahasannya yang begitu singkat dan cenderung kurang
mewakili.
Dengan corak
methodologi Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan
antara teori-teori Ushul dengan Maqashid al-Syari’ah akan menjadi penghubung
sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas.
Memisahkan teori-teori Ushul Fiqh dengan Maqashid al-Syari’ah merupakan
kesalahan besar karena tidak semua al-hawadits al-haditsah atau al-qaadimah
dapat diselesaikan dengan Maqashid al-Syari’ah.
Meskipun Thahir bin
Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah secara yakin menjadikan
Maqashid al-Syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu Ushul
Fiqh.
Namun, dalam
pandangan penulis, sesungguhnya teori-teori dan kerangka yang dikemukakan
Thahir bin Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori Ushul Fiqh
itu sendiri hanya dengan format yang berbeda.
Kedua, model
al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu
Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqh yang hidup. Karena itu, fiqh yang terlalu
teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh
Maqashidy.
Sedikit penulis
mengajak para pembaca untuk bernostalgia ke Indonesia. Dalam pengamatan
penulis, ada kesalahan fatal sikap masyarakat Indonesia khususnya terhadap
fiqh. Ia lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara
ibadah an sich, yang terlepas dari nilai-nilai rububiyyah murni dan nilai-nilai
kemanusiaan.
Hal ini terlihat
misalnya, mereka lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah daripada
memperhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang menggerogoti
tubuhnya yang kurus kering kurang gizi. Mereka lebih merasa berdosa tidak
berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu
dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah karena fiqh dipahami hanya
ibadah yang kaitannya antara manusia dan Tuhan saja.
Ada semacam
pembatasan pemahaman fiqh di kalangan masyarakat dewasa ini sehingga lebih
mementingakn menghapal syarat sah, syarat wajib, rukun dan lainnya dari pada
efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup pula persoalan
tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalam Kitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam
Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali.
Di samping itu,
silabus pengajaran fiqh di Indonesia, sepengetahuan penulis, juga kurang
mengarah pada Fiqh Maqashidy. Hampir tidak ada, hemat penulis, silabus yang
khusus membahas tentang Maqashid al-Syari’ah. Karenanya, tidaklah heran ekses
fiqh tidak berpengaruh pada tataran amaliyyah yaumiyyah, ia lebih pada tataran
fardhiyyah syakhsiyyah. Akhirnya, shalat dan ibadah rajin, korupsi jalan terus.
Inilah gambaran bagaiman fiqh itu mati, ambigu, sangat ushuly tidak hidup dan
tidak maqashidy.
Dari paparan di
atas jelas, kebutuhan untuk memahami dan mengkampanyekan Maqashid al-Syari’ah
di samping Ushul Fiqh menjadi sangat penting adanya. Demi menuju ke arah itu,
penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas perjalanan Imam Sythibi
sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah Pertama sekaligus sekilas tentang Maqashid
al-Syari’ah versi Syathibi
---
Sumber : wikipedia.org
No comments